Saya akhirnya paham mengapa Prof Iwan Pranoto, pakar matematika asal ITB, menguraikan bagaimana Pablo Picasso melukis banteng dan menyebut sebaiknya jurusan Matematika di ITB menjadi bagian Fakultas Sastra atau Seni. Lukisan Picasso ini berjudul La Taureau atau The Bull.
Persoalan terbesar adalah tentang sebuah transformasi kecerdasan berpikir, berimajinasi dan kesederhanaan. Pablo Picasso melukis seekor banteng dengan sangat sederhana tetapi abstrak. Ia menyederhanakan kompleksitas profil banteng hanya dengan beberapa coretan garis yang menyerupai binatang berkaki empat dengan tanduk melengkung.
Dalam karya kontemporernya pada 1942, Picasso bahkan membuat kepala banteng dari jok dan setang sepeda. Ia mengambilnya dari tumpukan barang bekas. Setang dan jok itu kemudian dilas dan jadilah Bull’s Head.
“Ibu Wiki” (Wikipedia) menyebutkan Bull’s Head dideskripsikan oleh kritikus seni Eric Gibson sebagai patung unik. Dia mengatakan patung itu adalah “momen kecerdasan dan imajinasi, kekanak-kanakan dan sangat canggih dalam kesederhanaannya, itu berdiri sebagai penegasan kekuatan transformasi imajinasi manusia pada saat nilai-nilai kemanusiaan dikepung. ”
Pujian Prof Iwan terhadap Picasso tidak berlebihan. Dua karya Picasso yang sangat dikenal yaitu lukisan ( litograph) Picasso berjudul Le Taureau (The Bull ) dan karya seni kontemporer Bull’s Head yang terbuat dari setang dan jok sepeda itu menggambarkan proses berpikir dan bernalar matematika.
Gernas Tastaka memiliki jargon yang selalu diajarkan kepada para peserta yaitu bernalar, kontekstual, sederhana dan mendasar. Berpikir dan bernalar itu membutuhkan proses. Proses inilah yang nanti menjadi pondasi bagaimana anak-anak memiliki kompetensi yang dibutuhkan abad-21 menyongsong abad-22.
Pada awalnya anak-anak dikenalkan kepada benda-benda konkret yang sesuai dengan kondisi sosial mereka. Konkret dan kontekstual agar mereka memiliki relasi dengan kehidupan kesehariannya.
Satu pohon singkong dan satu pohon singkong jika dijumlahkan menjadi dua pohon singkong. Anak-anak kota sering tak memahami pohon singkong seperti apa bahkan “buah” (akar) pohon singkong juga tidak paham. Ini berbeda dengan anak- anak desa yang kesehariannya membantu ayah ibunya berkebun. Kontekstualitas menjadi sangat penting dalam membangun relasi berpikir.
Picasso bukan tidak bisa melukis sebuah banteng yang indah dan lengkap. Namun Picasso bukan lagi anak-anak. Ia sudah melakukan transformasi berpikir dari konkret ke sederhana dan dari sederhana ke abstrak.
Kondisi pembelajaran bernalar saat ini jauh melebihi (baca: melompat) cara Picasso. Saat ini pembelajaran bernalar tidak mengenalkan anak-anak pada konsep konkret. Sesuatu yang mereka pahami pada masa awal belajar, yang dikenal dan diketahui pertama kali. Konsep pembelajaran melompat ke abstrak. Kerja otak anak-anak dipaksa melompat ke hal-hal abstrak yang tak dikenal dan dipahami. Di sini terjadi proses stagnasi bernalar. Relasi bernalar tidak terbangun.
Dalam lukisan La Taureau jelas sekali Picasso harus memahami banteng dari sesuatu yang konkret. Konsep konkret hingga detailnya dikuasai. Setelah itu, Picasso melakukan penyederhanaan. Dalam proses transformasi berpikir ini, Picasso membutuhkan imajinasi. Hasilnya sebuah banteng yang lebih sederhana. Transformasi berpikir kembali terjadi sehingga lahirlah sebuah banteng yang abstrak.
Gernas Tastaka membangun pembelajaran melalui tahapan sesuai fungsi dan kerja otak anak-anak yaitu melalui konkret, gambar baru abstrak. Sama seperti Picasso, anak-anak harus dikenalkan sesuatu yang konkret terlebih dahulu bukan yang abstrak.
Angka satu (baca: 1) adalah sesuatu yang abstrak. Sebuah garis tegak lurus mengapa disebut angka satu. Ini akan berbeda jika anak mengenal angka satu melalui satu buah pensil yang ada di meja belajarnya. Mengenal angka dua ketika siswa dikenalkan satu buah pensil dan satu buah pensil lainnya di ruang kelasnya. Proses pengenalan satu buah benda konkret (baca: pensil) kemudian digambarkan agar terjadi relasi antara pensil dan gambar. Barulah anak-anak dikenalkan angka abstrak satu (baca: 1).
Penjelasan seperti ini harus dilakukan secara sederhana dan mendasar bukan yang kompleks. Berpikir sederhana sangatlah penting: Menguraikan hal-hal kompleks menjadi yang lebih sederhana. Gernas Tastaka membangun kebernalaran dari pendidikan dasar, karena di sinilah sejatinya awal proses anak-anak bernalar itu dikembangkan.
Pengembangan proses bernalar inilah yang sedang dibutuhkan seluruh bangsa di dunia bahkan mereka saling berkompetisi. Kata akhirnya, para pemimpin negara itu ingin menjadikan bangsanya bermartabat, sejahtera adil dan makmur untuk mewujudkan cita-citanya.
Bagi Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa harus ada grand design, fokus dan keseriusan serta kerja-kerja kolosal untuk membangunnya. Tidak bisa sendirian untuk membangun nalar bangsa sebesar Indonesia. Ayoo, Indonesia, ayo bersinergi…!!! (Habe Arifin)