JAKARTA | ripost.id—Pemerintah mengincar dana dari masyarakat golongan menengah ke atas, dengan menghadirkan kebijakan insentif di sektor properti dan otomotif. Tujuannya mendorong multiplier effect (efek ganda) yang kuat bagi pemulihan ekonomi.
Sidang Kabinet Paripurna pada 30 Desember 2021 memutuskan, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi properti akan diperpanjang hingga Juni 2022.
Ketentuannya, besaran PPN DTP dikurangi 50 persen dari 2021, sehingga menjadi PPN DTP sebesar 50 persen, untuk rumah tapak/rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar dan PPN DTP sebesar 25 persen, untuk rumah tapak/rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp5 miliar.
Kemudian, akan diberikan juga insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk sektor otomotif. PPnBM untuk kendaraan Low Cost Green Car (LCGC) untuk harga hingga Rp200 juta, PPnBM DTP di Kuartal I mendapatkan 3 persen, di Kuartal II mendapatkan PPnBM DTP sebesar 2 persen, dan di Kuartal III mendapatkan PPnBM DTP sebesar 1 persen, sedangkan di Kuartal IV harus membayar penuh sesuai tarifnya yaitu PPnBM sebesar 3 persen.
Untuk otomotif dengan harga Rp200 – 250 juta, yang tarif PPnBM nya sebesar 15 persen, pada Kuartal I ini diberikan insentif sebesar 50 persen ditanggung pemerintah, sehingga masyarakat hanya membayar PPnBM sebesar 7,5 persen, dan di Kuartal II sudah membayar penuh sebesar 15 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan logika dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut memang sangat baik
“Jadi kita di 2020, 2021, kita menghadapi pandemi. Semua hampir lumpuh, pertumbuhan ekonomi kita negatif 2,1 persen, walaupun dibandingkan banyak negara kita jauh lebih baik. Pada 2021 kita pemulihan ekonomi, dan itu banyak sekali program pemerintah yang mendorong pemulihan ekonomi itu,” ujar Febrio, Kamis (20/1/2022) malam.
Meski demikian ia menyayangkan merebaknya varian Delta, sehingga pada Juli-agustus 2021, Pemerintah terpaksa melakukan PPKM level 4. “Pertumbuhan ekonomi kita di kuartal III/2021 itu 3,5 persen, padahal di kuartal kedua 7,1 persen. Nah, ini memang pertumbuhan ekonomi terhambat, yang tadinya kita berharap bisa mencapai 5 persen di 2021, akhirnya kita hanya berada di sekitar 3,7-3,8 persen, terutama karena varian Delta,” kata Febrio.
Pemerintah pun terus melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi yang didorong dengan kebijakan-kebijakan yang memiliki multiplier effect kuat. Dalam hal ini salah satunya sektor otomotif.
“Kebijakan pemerintah berupa insentif dalam konteks otomotif ini bagus sekali, malah sekarang lebih spesifik lagi, yaitu local purchase-nya itu 80 persen, Jadi dampaknya terhadap perekonomian lokal itu sangat tinggi. Belum lagi kalau mobil yang LCGC ini sekitar 16 persen diekspor. Jadi ini memang nilai tambahnya sangat tinggi terhadap perekonomian kita,” kata Febrio lagi.
Di satu sisi lagi adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) dari masyarakat kelas menengah atas dinilai masih tumbuh sangat tinggi di 2021, hingga lebih dari 12 persen. Jadi memang banyak uang dari kelas menengah ini yang harusnya bisa tersalurkan untuk membeli barang-barang dengan adanya insentif pemerintah itu.
“Ini kita harapkan bisa menjadi dorongan yang lebih cepat lagi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di 2022 ini memang harapan kita lebih baik lagi dari 2021. Walaupun dengan segala risikonya, termasuk adanya varian Omicron. Kita mengharapkan kebijakan yang baik seperti ini bisa mendorong perekonomian,” tutur Febrio.
Apakah pemberian insentif yang dilakukan pemerintah akan memberatkan fiskal? Febrio menjelaskan bahwa itu semua sudah manageable (bisa diatur). Pemerintah mengharapkan multiplier effect dari insentif itu akan terus berlangsung.
“Tentang multiplayer effect, misalnya kalau rumah kan berarti dia akan beli alat bangunan, dia beli batu, semen, lalu tenaga kerjanya, lalu transportasinya, itu yang kita sebut sebagai multiplier effect. Demikian juga dengan industri otomotif,” jelas Febrio.
Ditambahkannya, otomotif lingkupnya dengan banyak faktor di perekonomian itu sangat tinggi dan sangat besar. Sehingga multiplier effect-nya tinggi.
“Kalaupun kita mengorbankan penerimaan perpajakan dalam jangka pendek, sebenarnya dalam jangka menengah ini tidak terlalu signifikan dampaknya bagi penerimaan. Bahkan sebenarnya jadi bagus, karena kemajuan perekonomiannya. Jadi kita nggak terlalu masalah karena penerimaan kita cukup banyak juga,” pungkas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu. (mad)