JAKARTA | ripost.id—Turunnya elektabilitas Partai Golkar dinilai disebabkan mesin partai yang masih bekerja setengah hati. Faksi-faksi internal partai belum solid dalam mengusung Ketum Airlangga Hartarto sebagai capres dari partai berlambang pohon beringin itu.
Sebelumnya, survei SMRC menyatakan dibanding hasil Pemilu 2019, dukungan kepada PDIP melompat naik dari 19,3% menjadi 24%. Sedangkan Gerindra naik dari 12,6% menjadi 13,4%. Partai Golkar menurun dari 12,3% menjadi 8,5%.
Menurut peneliti Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Aisah Putri Budiatri, terdapat beberapa hal yang terkait dengan tendensi penurunan popularitas Golkar.
Puput mengungkapkan kecanggungan Golkar dalam menarik perhatian publik terkait isu politik. Utamanya soal calon presiden yang bakal diusung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Golkar berhenti pada isu pembentukan koalisi namun sampai saat ini belum menonjolkan calon untuk pilpres, padahal isu ini hampir pasti menjadi perhatian publik saat ini.
“Golkar yang mulanya nampak mendorong sosok Airlangga, saat ini nampaknya tidak sekuat dulu untuk mendorong sosok ketum ini ke ruang publik. Di luar itu, koalisi, termasuk Golkar, masih berhati-hati menentukan calon,” tandas Puput, Selasa (1/11).
Hal itu membuat Golkar dan KIB lantas kalah dengan partai lain yang bisa menarik popularitas karena solid mendorong nama capres atau setidaknya memiliki nama bakal capres yang konsisten populer di mata publik.
“Misalnya Ganjar yang lekat dengan PDIP, Anies dengan Nasdem, AHY dengan Demokrat. Hal ini menjadikan Golkar tak lagi jadi pusat perhatian publik, sehingga mempengaruhi popularitas partai,” jelas Puput.
Selain itu, Puput menilai ada faktor konteks yang lebih luas yakni usai Pemilu 2019.
Pertama, Golkar cenderung tidak menunjukkan sikap membersamai kebijakan-kebijakan pro-publik. Posisinya sebagai bagian dari koalisi pemerintah di satu sisi membuat Golkar menjadi lebih terkontrol dalam merespon persoalan publik dan tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah, bahkan termasuk yang kontroversial di kalangan publik.
“Misalnya pada isu omnibus law, Golkar menjadi salah satu yg paling vokal mendukungnya meski menjadi kontroversi di ruang publik,” jelas Aisah Putri yang akrab disapa Puput itu.
Kedua, menurut Puput, sosok elite Golkar yang berada di pemerintah dan parlemen tampak belum berhasil menonjolkan program unggulan mereka yang pro-publik.
“Kebanyakan pemberitaan terkait dengan elite-elite Golkar ada pada respons mereka terhadap kebijakan pemerintah atau terkait koalisi menuju pilpres, tetapi bukan prestasi mereka dalam posisi jabatan publik masing-masing elite. Kalaupun mungkin ada, nampak tidak menonjol dan tenggelam dalam diskusi publik,” sambungnya.
Bekerja Nyata
Sementara itu, Politisi Partai Golkar, Melkiades Laka Lena mengatakan mesin Golkar bekerja nyata di masyarakat di bawah kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto.
“Mesin Golkar terus bergerak dinamis sejak 2019. Penanganan covid menjadi ajang kerja dan bakti Golkar juga media konsolidasi mesin dan figur partai untuk berkarya melayani masyarakat dalam berbagai bidang dan peran yg diemban baik eksekutif, legislatif maupun peran fungsionaris dalam berbagai karya kemasyarakatan di pusat dan daerah,“ jelas Melki, Selasa (1/11).
Melki, yang juga wakil ketua komisi IX DPR RI ini menambahkan, Golkar menyadari betul pentingnya konsolidasi dan figur yang handal seperti Ketum Airlangga, diharapkan dapat terus membantu masyarakat.
“Partai Golkar sebagai perpaduan partai yang berbasis sistem yang kuat dan figur yang handal terus lakukan konsolidasi organisasi untuk menjawab tantangan masyarakat. Pak Airlangga dan jajaran DPP PG, juga pengurus partai di daerah sampai tingkat desa kelurahan terus bergerak dayagunakan semua potensi partai Golkar terus membantu masyarakat,” ungkap Melki.
Adapun riuh rendah hasil survei yang dibicarakan adalah elektabilitas, tidak membuat Golkar untuk lupa akan tugas mereka, yaitu hadir di tengah kehidupan masyarakat. sip