GUS Baha memberi satu ayat penting agar kita tidak tersesat jalan. Jalan yang lurus sesuai tuntutan Allah SWT itu tidak mudah diketahui dan tidak mudah dijalani. Lalu bagaimana cara mengetahyi dan menjalaninya?
Alkisah sebuah cerita. Dulu saat saya menempuh pendidikan Madrasah Aliyah, di Surabaya, datang seseorang berpenampilan rapi dan wangi. Ia ingin “mengislamkan” saya kembali. “Jleb… !!” Batin saya jelas terguncang. Kok bisa. Sejak kecil saya ini sudah beragama Islam. Kini saya akan diislamkan lagi.
Katanya, ideologi saya hanya sebatas keturunan. Bukan atas kesadaran. Syahadat saya dianggap hanya ikut-ikutan atau doktrin orang tua.
“Menjadi Islam itu harus sadar. Masuk Islam atas kesadaran sendiri, “ begitulah argumentasinya.
Sebagai remaja yang ingin banyak tahu, argumen itu menarik. “Wah boleh juga nih, “ pikir saya.
Selama ini saya menjadi Islam karena orang tua juga beragama Islam. Orang tua blasteran Muhammadiyah dan Nahdliyin. Ayah Muhammadiyah. Dulu “pejuang” di kepanduan Hizbul Wathon. Ibu seorang nahdliyin tulen, turun-temurun yang lahir di tepi Bengawan Solo.
Saya pun lahir di tepi Bengawan Solo. Sejak lahir “procot” saya sudah mandi air bengawan. Lha wong pas lahir sedang banjir. Air masuk rumah. Begitu lahir tinggal dicelupin air di kolong ranjang hehe.
Mungkin saja dari garis ibu, saya masih keturunan “trah” Joko Tingkir. Minimal mambu Joko Tingkir hehe. Maklum, kisah heroik Joko Tingkir alias Raden Mas Karebet sangat melegenda. Joko Tingkir muda berhasil mengalahkan buaya ganas asli Bengawan Solo dengan tangan kosong. Cerita legendaris di desa itu sangat inspiratif.
Agar bisa seperti Joko Tingkir, sejak kecil saya harus bisa berenang dan menaklukkan Bengawan Solo. Kami dilatih untuk tidak takut pada bulus dan buaya. Melompat di pusaran air bengawan itu sebuah romantisme yang tak tergantikan. Badan seperti ditarik ke bawah dan dilempar oleh kekuatan arus. Yuhuiiiii…. asyik dan menyenangkan.
Kembali ke doktrin. Dengan doktrin turun temurun itulah, saya jadi gamang. Sholat, puasa dan berbuat baik pada orang tua sejak kecil seolah menjadi amalan sia-sia. Kata mereka, jika islamnya keturunan, malanya tidak diterima. Betapa sedihnya saya. Padahal puasa itu berat. Jika haus tak terbendung, berkumur saat wudlu di bengawan adalah momen paling menegangkan. Antara menelan atau cukup kumur-kumur hehe.
Oke. Setelah mengikuti “ajaran” kesadaran tadi, saya pun mengikuti kajiannya. Sekali, dua kali, tiga kali. Ini mentornya anak-anak muda. Kitab pegangannya Al Quran.
“Belajar Islam itu harus langsung dari Al Quran.” Begitulah doktrinya.
Beberapa kali mengikuti kajiannya, saya sedikit heran. Mereka tidak sedang mengajarkan Al Quran tapi terjemahan. Bacaan Quran-nya tak lebih baik dari saya. Tapi ceramahnya bisa cas cis cus luar biasa. Iman saya dibuat rontok dan berkeping-keping. Lalu mereka menempelkan dan menata ajarannya ke hati saya satu per satu.
Beruntungnya saya punya guru kyai Al Quran Hadist di Madrasah Aliyah yang sungguh mumpuni. Kyai yang hafal Al Quran dan ribuan hadist. Usianya sudah sepuh. Jenggotnya lebih lebat dari anak-anak muda yang pegang terjemahan. Kitab yang diajarkan Sang Kyai Sepuh ini jelas. Sanad keilmuannya juga insyaAllah hingga ke Rasulullah SAW. Tidak pernah saya melihat beliau membawa Al Quran terjemahan.
Saya sangat meyakini kehebatan Sang Kyai ini. Pernah suatu ketika saya sakit gigi. Sakiiit sekali. Di kelas, saya minta izin pulang. Tapi oleh guru di kelas saya diminta ke ruangan Sang Kyai. Beliau ambil air putih. Dibacakan doa. Saya meminumnya dan “Bismillah.” Sembuh… !!! Ya, sembuh. Gigi saya tak snut-snut lagi. Secepat itu. Hanya hitungan detik.
Kata Gus Baha, belajar Islam itu harus punya sanad keilmuan yang benar. Sumber utamanya memang benar yaitu Al Quran dan Hadist. Itulah pegangan utama umat Islam.
Maka dalam surat Al Fatihah, ditegaskan tentang shirotol mustaqiem. Jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu sulit ditempuh dan diikuti, apalagi oleh orang awam. Maka Allah SWT melanjutkan dengan ayat “Shirotol lladzina ‘anamta alaihim.” Jalan orang yang diberi nikmat. Mengikuti jalan yang lurus melalui jalan yang ditrmpuh orang-orang saleh yang telah diberi nikmat keilmuan dan kealiman.
Itulah mengapa, belajar Islam harus kepada guru dan kyai yang lurus sanad keilmuannya hingga ke Rasulullah SAW. Bukan mengandalkan terjemahan tanpa penjelasan. (hb arifin)