JAKARTA | ripost. id – Lebih dari 97 persen pelatihan guru di Indonesia tidak mengajarkan kompetensi bernalar. Temuan ini sejalan dengan rendahnya kompetensi literasi, matematika dan sains siswa Indonesia berdasarkan studi PISA (Program of International Student Assessment). Selama 24 tahun mengikuti PISA, kompetensi siswa Indonesia masih berada di level 1-2. Level ini sangat rendah dibandingkan negara-negara maju.

“Mesti tidak kaget, hasil riset ini sangat memprihatinkan. Pelatihan guru tidak menjangkau kompetensi bernalar secara serius. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab perubahan SDM Indonesia sangat bergantung pada profesionalisme guru. Jika kemampuan nalar guru rendah, nalar dalam pembelajaran di kelas juga rendah. Akhirnya nasib generasi Indonesia di masa depan dipertaruhkan,” tegas Wakil Ketua Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NU Circle) Achmad Rizali di Jakarta hari ini, Rabu (31/7).

Temuan ini diungkap Pusat Riset Penggerak Indonesia Cerdas (PRPIC) pekan lalu. Dalam presentasi hasil riset yang dilakukan di Universitas Internasional Islam Indonesia, peneliti PRPIC Arkhadi Pustaka menyebutkan dari 378 judul pelatihan guru yang diteliti selama dua dekade (2093-2023) yang bersumber dari google scholars, hanya 11 judul yang melakukan pelatihan berbasis HOTS (higher order thinking skills). Artinya hanya 2,9 persen judul pelatihan berbasis HOTS dan 97,1 persen pelatihan tidak berbasis HOTS.

Yang lebih memperhatikan, Arkhadi Pustaka menyatakan bahwa dari 11 judul pelatihan berbasis HOTS tersebut, hanya 1 judul pelatihan yang membahas proses bernalar melalui pelatihan metode dalam proses pembelajaran. Hal itu menjelaskan 10 judul lainnya hanya membahas soal-soal HOTS dan bukan mengajarkan proses bernalar atau keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Dikatakan Achmad Rizali, hasil riset ini menjelaskan bahwa pelatihan guru di Indonesia hanya didominasi pelatihan tentang media pembelajaran dan teknologi. Substansi materi pembelajaran dan substansi membangun proses bernalar terabaikan. Menurutnya, ada upaya pengabaian terhadap upaya peningkatan kualitas SDM Indonesia secara terstruktur, sistematis dan masif.

“Meski hasil PISA berkali-kali disampaikan tentang rapor bernalar yang sedemikian rendah, hasil riset ini kembali menunjukkan ketidakpedulian masyarakat terutama negara dalam membangun nalar generasi Indonesia melalui pendidikan,” tegas Achmad Rizali.

Dikatakannya, pemerintahan hari ini tidak bisa diharapkan bisa memperbaiki keadaan. Kebijakan pendidikan masih menganggap bahwa hasil evaluasi berupa asesmen, pelatihan pembuatan soal dan pembelajaran menjawab soal adalah jalan pintas memperbaiki mutu pendidikan nasional. Faktanya berkali-kali hasil evaluasi tersebut tidak menjawab problematika mendasar mutu pendidikan.

Hasil riset PRPIC harus menjadi perhatian serius pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membangun nalar di dunia pendidikan. Masyarakat saat ini bisa berharap pemerintahan baru bisa mengubah keadaan, setidaknya bisa berada pada jalur yang benar dalam memperbaiki mutu pendidikan nasional.

“Pemerintahan Prabowo-Gibran harus serius bisa melakukan perubahan mendasar dalam mengelola pendidikan di masa mendatang. Hasil riset ini disertai dengan hasil PISA telah membuka mata pemerintahan baru bahwa fenomena rendahnya proses bernalar di institusi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia bukan hanya fatamorgana. Ini sungguh-sungguh terjadi dan puluhan tahun kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan masalah ini dan tidak berada pada track (jalur) peningkatan mutu dan nalar ini,” kata pria yang akrab disapa Nanang ini.

Prabowo-Gibran, kata Nanang, diminta memilih Menteri Pendidikan dan Kebudayaan secara hati-hati dan tidak hanya berdasarkan kepentingan sesaat dan kepentingan bagi-bagi kue kekuasaan. “Tempatkan menteri pendidikan yang memahami akar persoalan rendahnya mutu pendidikan nasional. Selama lima tahun ke depan, tugas pokok dan fungsinya hanya betul-betul memperbaiki keadaan akibat buruknya mutu pendidikan dasar dan menengah ini. Fokus memperbaiki,” pintanya.

Selanjutnya, anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20 persen, harus direaktualisasi penggunaannya. Anggaran pendidikan tidak boleh lagi digunakan sebagai dana pelatihan di berbagai kementerian. “Anggaran pendidikan dalam APBN sebaiknya difokuskan untuk memperbaiki terpuruknya mutu pendidikan nasional secara sistematis , terstruktur dan masif. Jangan gunakan untuk hal-hal di luar masalah kerusakan pendidikan,” ujarnya berharap. rps