Hari-hari ini Baim Wong dikritik habis-habisan. Ia dihujat. Isterinya,Paula Verhoven, pun demikian. Suami isteri itu “didakwa” rakus dan tak tahu malu.
Apa salah Baim Wong dan Paula? Ia mendaftarkan merk Citayam Fashion Week ke Ditjen HAKI.
Mari kita lihat fenomena serupa (tapi memang tak sama?). Kita sebut Gojek. Tukang Ojek menjamur di Ibu Kota. Apalagi ketika becak dilarang Sutiyoso, Ojek merupakan kendaraan alternatif bagi rakyat kebanyakan. Itu prinsipnya: Cepat,mudah,murah.
Sebagai Ojek, semua pihak diam. Pemerintah diam. Polisi lalu lintas diam. Satpol PP juga diam. Ridwan Kamil yang sekarang Gubernur Jabar itu juga diam. Ernest Prakoso juga nggak cuit- cuit di Twitternya.
Lahirlah aplikasi (G)Ojek. Tugasnya menghubungkan antara tukang Ojek dan Konsumen.
Apa yang terjadi ketika fenomena Ojek yang seolah milik rakyat dikomersilkan dalam bisnis. Gojek didemo. Pertempuran jalanan terjadi di mana-mana. Tukang Ojek dan driver Gojek benar-benar bertempur di jalanan. Gojek dilarang di mana-mana.
Bagaimana sikap pemerintah? Dengan berbagai alasan, Gojek disahkan. Sah beroperasi. Sah menjadi perusahaan besar di Indonesia. Nadiem Makarim bahkan diberi “hadiah” jabatan Menteri karena Gojek. Gojek merambah ke berbagai layanan dan menjadi unicorn bahkan dekacorn.
Gojek hadir sebagai respon atas fenomena sosial bernama: Ojek. Baim Wong ingin membangun ekosistem Citayam Fashion Week agar lebih terorganisasi. Lebih tertib. Lebih tertata rapi dan lebih bisa dimonetising. Sederhananya, CFW biar lebih bisa di-create cuan-nya.
Cara yang dilakukan Baik Wong tak seperti Gojek. Sebab, CFW memang industri kreatif. Mirip K-Pop di Korsel. Bukan industri jasa layanan semacam Ojek. Pendekatan bisnisnya pasti berbeda.
Untuk tujuan itu, Baim mesti mematenkan dulu CFW agar dia bisa mengeksplorasinya menjadi cuan. Ia akan mengangkat harkat dan martabat Bonge dkk sebagai selebritas model baru. Baim punya modal yang cukup: isterinya adalah model papan atas Indonesia, Paula Verhoven. Paula akan menularkan ilmunya ke Bonge. Baim akan meng create ekosistem CFW agar bisa jadi cuan dalam jangka panjang. Bukan hanya jadi tren sesaat seperti Es Kepal Milo.
Rupanya langkah Baim Wong terbentur “gugatan” Ridwan Kamil, Ernest, dan beragam suara netizen. Baim dan Paula dicaci maki dan dihujat. Baim diminta membatalkan pendaftaran CFW ke Ditjen HAKI.
Dua tahun Indonesia dikepung pandemi. Semua bisnis ambruk. Apalagi bisnis hiburan. Semuanya runtuh. Industri pariwisata dan kreatif lunglai.
Bonge dkk mestinya bisa diganjar penghargaan sebagai penyelamat industri kreatif Indonesia. Bersama kawan-kawannya saat libur sekolah, Bonge membuat revolusi sosial: CFW. Dengan pakaian “kampung”, anak-anak pinggiran Jakarta berlenggak-lenggok di jalanan mewah Ibu Kota. Gubernur Anies merestui mereka. CFW makin viral. Membetot berbagai kalangan untuk menjajal catwalk zebra cross. Juga Paula. Model papan atas Indonesia.
Produk lokal mulai tersohor. Dengan harga receh, Bonge bisa tampil menawan. Outfit anak-anak SCBD (Sudirman Citayam Bojong dan Depok) tak lebih Rp100 ribuan. Mereka bisa tampil beda. Tampil apa adanya.
Originalitas CFW membuat deferensiasi dalam ajang serupa semacam Jakarta Fashion Week. CFW di jalan, JFW di Mall. CFW pakai fashion jalanan, JFW glamour. CFW harga recehan, JFW jutaan. CFW murni produk lokal grassroot, JFW branded atau lokal Premium.
Di tengah rehabilitas ekonomi pasca Covid, geliat ekonomi kreatif seperti ini harus didukung. Langkah Baim Wong membangun ekosistem CFW pantas mendapat apresiasi. Mungkin hak CFW bisa diambil alih negara tapi Baim Wong atau perusahaan rintisan (start up) lainnya bisa diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi CFW.
Tak hanya itu, demam CFW yang mulai menular ke Surabaya, Malang, Madiun dan kota-kota lain tak perlu dihadapkan pada Satpol PP. Saat ini, bagi Satpol PP cuma ada dua pasal dalam dunia ini. Pasal 1 Satpol PP selalu benar. Pasal 2 jika satpol PP salah kembali ke pasal 1. Peace….!!! (Habe Arifin)