Sani Rizky Fauzi menangis haru. Ia baru saja menceploskan si kulit bundar melalui sundulan indah di mulut gawang. Kiper Persib Bandung tak berdaya. Skor 2:2.
Kali ini Sani menangis lagi. Kaki kanannya dingklang. Ia mesti dipapah tim dokter keluar lapangan. Pemain Persib membantainya di tengah permainan.
Cukup banyak kejadian seperti yang menimpa Sani. Pemain Bhayangkara FC ini digaprak dan terjengkang. Badannya yang kecil tak kuasa menghadapi serangan fisik pemain lawan yang menghajarnya. Ia meringis, terseok-seok, berjalan pincang ke pinggir lapangan.
Malam ini Bhayangkara FC bertanding melawan Persib Bandung. Duel kedua kesebelasan ini berjalan sangat sengit. Angka di papan skor seperti saling mengejar: 1-0, lalu 1-1, disusul 2-1 dan terakhir berkat sundulan Sani, skor berubah 2-2.
Pertandingan Liga I BRI ini sangat mendebarkan. Permainan merebut bola dari kaki lawan nyaris selalu berakhir menjadi tragedi: terjengkang dan ndelosor di rerumputan.
Ada budaya yang sampai hari seolah ini dipelihara dan diwariskan sebagai “harta” warisan: permainan ganas dan liar. Gaprak dan sikat kaki lawan, habis perkara. Senggolan memang diperbolehkan. Mengadu badan semestinya diharamkan.
Tak hanya pemain. Wasit juga lemah dalam menerapkan aturan. Kartu kuning seolah tak memberi pelajaran apa-apa pada pemain. Padahal, kartu kuning itulah yang menjadi instrumen paling ampuh agar permainan bisa berjalan fair play.
Jika pertandingan Liga I BRI masih membudayakan permainan Liar dan Ganas, sebaiknya kita angkat bendera kuning tinggi-tinggi. Tanda kematian fair play. Tanda permainan sepakbola yang enak ditonton (dan tak mengerikan) memang tak bisa ditegakkan di lapangan. (Habe Arifin)