Bonge hanyalah anak putus sekolah. Satu hal yang ingin saya catat: dia menggerakkan. Dia menciptakan revolusi sosial dalam ekosistem fashion.

Yang dilakukan Bonge sederhana. Dia mengekspresikan dirinya  di zebra cross kawasan Dukuh Atas Sudirman: Citayam Fashion Week (CFW).

Kesederhanaan ini kemudian meluas. Tak hanya anak-anak Citayam yang berlanggak lenggok di sana. Mulai anak-anak hingga emak-emak semua tumplek blek. Beragam ekspresi menyeruak.

Demam CFW menjalar ke berbagai kota di Indonesia. Jepang juga membahas fenomena sosial ini. Mirip sebuah fenomena Harajuku di negeri sakura itu.

Yang dilakukan oleh Bonge adalah ide. Gagasan. Konsep. Gagasan besar untuk meruntuhkan “keangkuhan” kaum elite yang mewah dan ekslusif. Sebut saja  Jakarta Fashion Show.

Ide Bonge ini menggerakkan masyarakat untuk mengikutinya. Jutaan orang sudah terpengaruh. Jutaan orang dari berbagai daerah ikut berekspresi di jalanan. Hegemoni zebra cross sebagai tempat menyeberang jalan berubah menjadi runway para model dadakan.

Saya coba menghitung berapa perputaran ekonomi yang bisa digerakkan di 10 kota besar di Indonesia. Minimal Rp1,5 triliun. Asumsinya setiap pengunjung menghabiskan uang sebesar Rp100-200 ribu. Baik untuk transportasi, makan-minum, hingga membeli sedikit fashion produk lokal seperti topi, tas pinggang atau sekadar gantungan kunci.

Paula Verhoven melirik bisnis ini. Ya bisnis. Proses bisnis wajib hadir agar CFW bisa langgeng dan terorganisasi. Managemen membutuhkan modal. Kontinuitas membutuhkan anggaran. Agar CFW tidak menjadi hutan rimba, organisasi mesti hadir.

Bisnis. Ketika kita melihatnya di ujung, di hilir, orang hanya akan menghitung berapa keuntungan. Orang lupa bagaimana proses menjadi keuntungan.  Sekadar mencontohkan dan bukan ingin membandingkan: Berapa nilai investasi  Gojek, Grab, Ruangguru, dan banyak aplikasi lain. Investasi dengan cara “membakar” uang demi bisa meng-create money: mencapai triliunan rupiah.

CFW tak bisa hanya menjadi fenomena dan revolusi  sosial yang cair dan bebas. Tanpa perencanaan yang semakin baik dan terorganisasi. Pilihannya dua: CFW bisa dikelola pemerintah atau dikelola swasta.

Sebagai model papan atas Indonesia,  Paula Verhoven memikirkan masa depan CFW ini agar berkelanjutan.  Bonge dkk juga bisa mendapatkan pendidikan modeling yang lebih baik. Tampilan CFW diharapkan bisa semakin baik dan tertata. Tanpa mengganggu masyarakat umum.  Semua itu membutuhkan organisasi, modal dan investasi.

Suara miring memang akan terus terjadi di negeri ini. Bukan hanya CFW dan Bonge. Suara miring juga menyapu Presiden, menteri, pejabat, artis dan lainnya.  Jenuh dengan mempertentangkan agama, kini  netijen mulai mempertentangkan kelas sosial: si kaya dan si miskin. Si kaya mencaplok si miskin.

Orang mungkin lupa. Ekspolitasi dan tidak mengeksploitasi itu bergantung sudut pandangnya.  Sudut pandangnya saja yang berbeda. Eksploitasi atau menolong. Eksploitasi atau membantu. Eksploitasi atau memberdayakan.

Dalam kasus Paula dan Baim, mudah saja melihat apakah Baim mengekploitasi atau memberdayakan. Berapa nilai investasinya. Berapa keuntungannya? Berapa rupiah dari keuntungan yang digunakan untuk tujuan sosial, pendidikan, kesehatan dan bantuan kesejahteraan masyarakat? Berapa rupiah untuk pajak ke Nagara. Berapa keuntungan ekonomi dan keuntungan perekonomian negara yang terbangun. Berapa UMKM fashion dan kuliner yang bisa diberdayakan? Berapa nilai positif terhadap nama baik Jakarta dan Indonesia yang bisa diciptakan?

Sayang sekali, Baim dan Paula sudah menyatakan mundur dari CFW. Sementara negara masih bingung mau diapakan fenomena CFW ini. Di banyak daerah, fenomena CFW bahkan dirampas dan ditindas. Negara menghadirkan Satpol PP sebagai eksekutornya.

Semoga banyak pemerintah daerah yang berpikir positif dan fokus bagaimana perekonomian daerah bisa bergerak dan tumbuh.  Di tengah upaya pemerintah merehabilitasi ekonomi nasional pascapandemi, kreativitas dan inovasi adalah kunci.

Sayangnya, kreativitas dan inovasi baru sebatas jargon dan motivasi di ruang kelas. Bonge dkk membuktikan sebaliknya: kreativitas dan inovasi hidup di luar ruang kelas dan jargon pejabat. Bonge menggerakkan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian negara. Bonge merebut kreativitas dan inovasi dan diubahnya menjadi revolusi sosial. (Habe Arifin)