JAKARTA | ripost.id – Perkumpulan Nusantara Utama Cita (NUCircle) memprotes terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang terkesan mengarahkan anggaran daerah dibelanjakan untuk pelatihan numerasi yang spesifik dimiliki Prof. Yohanes Surya yaitu Gasing. Dalam SE tersebut, Mendagri memerintahkan seluruh kepala daerah terutama bupati dan walikota mengalokasikan anggaran APBD untuk kepentingan pelatihan tersebut.
Pelatihan matematika ala Gasing memiliki tagline Gampang, Asyik dan Menyenangkan. Sementara SE Mendagri Nomor 400.1.7/2097/SJ tanggal 6 April 2023 tentang Percepatan Capaian Pendidikan Numerasi Sekolah Dasar di Daerah memerintahkan pelatihan numerasi harus dengan nomenklatur yang diarahkan sesuai tagline Gasing yaitu harus Gampang, Asyik dan Menyenangkan.
“Terbitnya SE Mendagri seperti ini sangat tidak elok. Seolah-olah terbitnya SE ini bukan kebetulan tetapi diduga telah diarahkan untuk kepentingan tertentu,” tegas Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan NUCircle Achmad Rizali di Jakarta, Sabtu (15/4).
Menurut Achmad, kebijakan percepatan pendidikan numerasi adalah langkah progresif yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Terbitnya SE itu bisa menjadi energi besar untuk membawa perubahan pendidikan numerasi secara nasional yang hari ini bermutu sangat rendah. Dalam berbagai tes baik dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ristek serta tes internasional seperti PISA, kompetensi numerasi siswa Indonesia sangat terpuruk.
“Di satu sisi, kami sangat mengapresiasi langkah progresif yang dilakukan Mendagri untuk memecah kebuntuan atas buruknya mutu matematika di sekolah dasar. Kementerian pembina saja tidak melakukan langkah seprogresif ini. Di sisi lain, kami menyayangkan isi SE itu yang seolah-olah hanya ditujukan kepada lembaga pelatihan dengan brand tertentu,” tegasnya.
Ditegaskan Achmad, persoalan buruknya kompetensi numerasi, membaca dan sains terutama di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah adalah nyata dan sangat merisaukan. Laporan Human Capital Index (2018) bahkan telah memprediksi anak Indonesia dalam usia 18 tahun kemudian memiliki produktivitas sangat rendah.
“Dalam laporan HCI itu ditegaskan, 18 tahun sejak laporan itu diterbitkan (2018), anak Indonesia hanya memiliki angka produktivitas 54 persen. Lebih rendah dari anak-anak Palestina yang memiliki skor 56 persen atau Singapura yang 88 persen. Artinya 9 tahun sebelum peringatan 100 tahun HUT Indonesia yaitu tahun 2045, anak Indonesia hanya menjadi beban pembangunan nasional karena produktivitasnya yang buruk,” ujar Achmad.
Melihat permasalahan yang begitu besar, ditegaskan Achmad, upaya percepatan peningkatan kompetensi numerasi, termasuk membaca dan sains, di sekolah dasar tidak bisa hanya dilakukan oleh sebuah lembaga pelatihan sendirian. Persoalan ini harus menjadi persoalan negara dan seluruh masyarakat Indonesia. Tidak bisa orang per orang, sehebat apapun dia, menyelesaikan problem besar bangsa ini.
“ Percepatan peningkatan numerasi sekolah dasar hanya bisa dilakukan dalam sebuah gerakan nasional. Semua orang dan semua elemen bangsa harus terlibat dalam pemberantasan buruknya kompetensi numerasi dan membaca. Regulasinya pun tidak hanya sebatas SE Mendagri tapi Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden,” tandasnya. rps