ripost.id | Aku sih belum pernah sekolah di Eropa. Tapi menurut lapak sebelah terdapat kesenjangan model pendidikan antara di sana dan di sini. Pada saat mereka sibuk merancang karir sejak dini,  kita di Indonesia terjebak dalam ritual belajar dan ujian untuk semua jenjang tanpa henti. Karena hidup adalah cobaan, mungkin begitu filosofinya.

Sekolah lupa menyusun karir untuk seluruh siswa pada semua jenjangnya. Sekolah hanya menyediakan karpet merah bagi mereka “kaum jenius dan pintar” ber IQ tinggi, sedang yang ber IQ rendah harap sabar menjadi pelengkap penderita.

Ketika menyekolahkan anak, orang tua ingin anaknya menjadi pintar, bukan malah menjadi bodoh, karena dilampaui para juara yang itu-itu saja. Karena itu sudah waktunya sekolah kita berorientasi menemukan kemampuan terbaik siswa, bukan malah sibuk mencari kelemahan terburuknya.

Howard Gardner  dan Munif Chatib meyakini, semua anak itu pintar, semua adalah juara pada ranah yang berbeda. Hanya jenis respon setiap anak yang berbeda. Hal ini diyakini berkaitan dengan gaya bawaan masing-masing (bakat). Karena itu mereka harus dipoles sesuai karakternya. Kuda menjadi kuda, ikan menjadi ikan, burung menjadi burung, semua harus hebat pada bidangnya. Jika burung dipaksa berenang, ikan dan kuda dipaksa terbang,  mereka bukan menjadi pintar, tapi akan menjadi cacat, lumpuh atau bahkan mati. Sekolah yang menyeragamkan muridnya cenderung membunuh kemampuan terbaiknya.

Penyeragaman ini harus segera diakhiri. Penyeragaman juga berpotensi mengancam kebhinekaan kita sebagai bangsa. Pendidikan ala Pancasila semestinya memberikan dasar kemajemukan bagi kemampuan anak-anak kita. Pada dasarnya mereka beda. Karena perbedaan maka harus bekerjasama dan saling melengkapi. Kemajemukan bukan diteriakkan di jalanan, tapi di jalankan sejak di sekolah, mulai dari hati dan pikiran yang paling dalam. Salah satunya dengan menghargai perbedaan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap anak manusia. (Alip Purnomo)