Slogan “Merdeka Belajar” seperti pembunuh berdarah dingin.  Slogan ini telah mengamputasi kaidah bahasa Indonesia.  Bahasa yang begitu dicintai oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.

Secara gramatikal,   jargon seperti dalam judul di atas bertentangan.  Dalam kaidah Bahasa Indonesia dikenal “Hukum DM” yaitu diterangkan-menerangkan.  Kaidah ini diterapkan baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat.

Contoh kata majemuk “sepeda motor”. Kata “motor” menerangkan kata “sepeda”. Kata “sepeda” diterangkan oleh kata “motor.“  Dalam kalimat,  “Saya pergi” maka kata “saya” diterangkan oleh kata “pergi.”

Mari kita lihat  slogan atau jargon yang “diakuisisi”  oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek yaitu “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka.“

“Merdeka Belajar” mengikuti kaidah bahasa dalam rumpun Indo-german seperti bahasa Inggris.  Kaidah bahasa Inggris menggunakan hukum MD yaitu menerangkan-diterangkan.  Contoh  penggunaan “guest house.” Kata “guest”menerangkan kata “house.” Dalam bahasa Indonesia, strukturnya mengikuti hukum DM yaitu “rumah tamu.” Jadi “Merdeka Belajar” itu kata “merdeka” menerangkan kata “belajar” sehingga slogan tersebut mengikuti hukum MD bukan kaidah bahasa Indonesia yang memganut hukum DM.

Inkonsistensi terjadi ketika Kemdikbud menggunakan slogan baru dengan menggunakan kata “merdeka” yaitu “Kampus Merdeka” dan “Kurikulum Merdeka. “Jika Kemdikbud Ristek meyakini “Merdeka Belajar” itu benar seharusnya Kemdikbud Ristek menggunakan produk “Kampus Merdeka” dengan nama “Merdeka Kampus” dan “Kurikulum Merdeka” dengan “Merdeka Kurikulum.”  Faktanya Kemdikbud Ristek retap memakai “Kampus Merdeka” dan “Kurikulum Merdeka.”

Dugaan saya,  salah kaprah  penggunaan “Merdeka Belajar”  ini akibat “hibah” (baca: setelah diprotes banyak pihak)  pemilik merk “Merdeka Belajar” (Lihat pemilik hak cipta  Merk Merdeka Bejajar di Kementerian Hukum dan HAM) yang diterima “bongkoan” oleh Kemdikbud Ristek tanpa diubah sedikit pun.  Kendati secara kaidah bahasa Indonesia tidak sesuai,  Kemdikbud Ristek tetap menggunakannya sebagai nama program dan kebijakan.

Dosen saya di Universitas Negeri Surabaya,  (alm) Gatot Susilo Sumowijoyo, menyatakan disiplin menggunakan kaidah bahasa Indonesia bagi pejabat dan pengambil kebijakan itu sangat penting agar menjadi contoh masyarakat pengguna bahasa Indonesia.  Katanya,  pejabat jangan menjadi pembunuh bahasa Indonesia.

Sebagai pejabat seharusnya Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Ristek Nadiem Makarim taat dan patuh penggunaan kaidah bahasa Indonesia.  Program “Merdeka Belajar” harus diubah menjadi “Belajar Merdeka.” Sejajar penggunaaanya dengan “Kampus Merdeka” dan “Kurikulum Merdeka.”

Jika tidak diubah, benar kata dosen saya,  Mendikbud Ristek ini sedang menjadi algojo untuk membunuh kaidah bahasa Indonesia.  Bahasa yang begitu dibanggakan oleh seluruh bangsa Indonesia.  Bahkan dalam Sumpah Pemuda,  bahasa Indonesia dinobatkan sebagai bahasa persatuan seluruh elemen bangsa Indonesia.

Jika Kemdikbud Ristek ingin mewujudkan Profil Pelajar Pancasila,  seharusnya  cinta tanah air dan bahasa Indonesia seharusnya menjadi kriteria yang utama.  Tanpa itu,  para pelajar Indonesia tidak akan mengenal jati diri dan bangsanya.  (habe arifin)