ripost.id | PPDB Zonasi harus dihapuskan dari rezim pendidikan. Pemerintahan baru harus bisa menjadikan mandat Konstitusi UUD 1945 sebagai panduan dan dasar pelaksanaan seluruh kebijakan pendidikan nasional. Tanpa penghapusan itu, kerusakan moral bangsa menjadi taruhan. Kebodohan akan terus menjadi cermin benggala pemerintahan.
Dalam sebuah grup, seorang aktivis lingkungan menyatakan bahwa sekolah belum membangun sistem kecerdasan secara sistematis. Pemerintahan baru bahkan dianggap belum sanggup bicara kecerdasan.
Kritik tersebut menunjukkan bahwa sekolah belum berhasil melaksanakan mandat Konstitusi sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa. Pemerintahan baru, Prabowo-Gibran tidak boleh lengah. Kritik pedas itu harus menjadi cetak biru agar bangsa Indonesia mampu mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fakta menunjukkan kecerdasan siswa Indonesia memang masih sempoyongan. Terutama dalam hal literasi membaca, literasi numerasi dan sains. Rapor anak Indonesia masih sangat buruk. Bank Dunia menyebut kemampuan literasi anak Indonesia dengan sebutan functionally illiterate. Mereka bisa membaca tetapi tidak memahami makna bacaannya sehingga tidak bisa menggunakannya secara fungsional. Ini mirip (bukan sama) kondisi kita yang bisa membaca kitab suci Al Qur’an tetapi tidak memahami arti dan maksudnya sehingga tidak bisa menggunakannya dalam amal saleh dan ibadah sehari-hari. Angka buta huruf sangat baik tetapi nilai membaca sangat buruk (PISA 2022).
PISA, sebuah tes yang berorientasi pada kecerdasan, yaitu kompetensi membaca, matematika dan sains, memang menjadi ukuran global kompetensi anak-anak di seluruh dunia. Data Kemendikbud menyebutkan Indonesia telah mengikuti tes PISA sejak tahun 2000.
Skor membaca anak Indonesia pada tahun 2022 lebih buruk dibandingkan nilai skor membaca pada tahun 2000. Tahun 2022, skor membaca jatuh ke angka 359. Sedangkan skor membaca anak Indonesia tahun 2000 masih bertengger di angka 371. Artinya lebih dari 20 tahun, situasi kecerdasan membaca siswa Indonesia belum bergerak ke arah yang diharapkan.
Skor membaca tahun 2000 sebesar 371, tahun 2003 (382), tahun 2006 (393), tahun 2009 (402), tahun 2012 (396), tahun 2015 (397), tahun 2018 (371) dan tahun 2022 yang surveinya sempat tertunda karena pandemi dan diumumkan pada 2022 sebesar 359.
Selain membaca, skor PISA pada kompetensi matematika juga turun. Skor matematika pada tahun 2022 hanya sebesar 366. Sebelumnya tahun 2018 sempat mencapai 379.
Tes PISA ini sangatlah penting bagi pendidikan di Indonesia. Tes PISA memberikan gambaran lebih konkret tentang pencapaian akademis siswa dan gambaran holistik tentang kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan di negara masing-masing peserta. PISA diikuti sekitar 81 negara di dunia. Indonesia salah satunya.
Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann menyatakan tujuan utama PISA adalah membantu negara-negara peserta mengidentifikasi kekuatan komparatif sistem pendidikan agar bisa tetap berkinerja baik. Hasilnya dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan reformasi sistem pendidikan. PISA dapat menjadi semacam jalan raya untuk membimbing perubahan kebijakan guna meningkatkan mutu pendidikan di tingkat global. Desain PISA adalah mengukur kemampuan siswa dalam menguasai kompetensi dan keterampilan yang diterimanya serta dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Presiden Prabowo (2024-2029) harus memahami betul bagaimana kinerja hasil PISA Indonesia ini. Pemerintahan baru harus dapat meletakkan hasil PISA sebagai evaluasi pendidikan nasional. Sebab, pada prinsipnya, negara-negara OECD meletakkan tes PISA sebagai alat evaluasi kepada para pendidik dan pembuat kebijakan mengenai efektivitas sistem pendidikan nasional.
Dimulai dari rekrutmen siswa di sekolah yang dikelola pemerintah, yaitu PPDB. Pintu masuk anak-anak sekolah harus diukur dari kompetensi akademik yang telah diraihnya di setiap jenjang. Bukan lagi pada rekrutmen ala zonasi yang membelenggu lahirnya kecerdasan yang dimiliki anak-anak Indonesia. Zonasi harus ditempatkan sebagai bagian bina lingkungan dan atau afirmasi pemerintah.
Ekosistem pendidikan di sekolah harus mulai dibangun dari landasan (minimal) tiga kecerdasan yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Kecerdasan lainnya bisa menjadi bagian dan atau pengembangan dari tiga kecerdasan tersebut. Jika setiap sekolah dan seluruh institusi pendidikan membangun dan mengembangkan ekosistem berbasis tiga kecerdasan (dan turunan ata pengembangannya) insyaAllah Indonesia masih bisa berharap memiliki generasi emas 2045.
Apalagi jika pemerintahan baru nanti bisa menerbitkan sebuah Inpres tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah, maka harapan Indonesia Emas 2045 itu benar-benar bisa diwujudkan. Dengan Inpres Mutu tersebut, pendidikan nasional akan berorientasi pada kompetensi dan keterampilan unggul. Orkestrasi pendidikan bermutu tersebut akan bergerak secara sistematis, terstruktur dan masif di bawah komando langsung Presiden Prabowo Subianto.
Tanpa perubahan besar-besaran pada sistem pendidikan nasional, harapan menciptakan dan membangun Generasi Emas 2045 hanyalah mimpi di siang bolong. Tak ada pekerjaan mudah untuk menciptakan Indonesia Emas. Jalan ke sana sudah pasti akan semakin terjal dan berliku. Tapi dengan kepemimpinan yang kuat dan visioner, cita-cita besar itu akan menemukan jalannya.
Indonesia Emas 2045 harus bisa kita genggam dengan kerja cerdas dan penuh percaya diri. Bukan dengan mimpi yang tak bertepi. Apalagi dengan cara-cara zonasi. (Habe Arifin)