ripost.id – Seseorang menemui saya dan bertanya. Mengapa di Pantai Indah Kapuk Jakarta tak ada SD Negeri? Mengapa pula di BSD dan Pondok Indah juga tak punya SD Negeri?
“Coba tengok Kota Makassar, di mana lokasi lembaga pendidikan dan di mana lokasi rumah penduduk. Lalu sistem rekrutmen berbasis zonasi ini ada apa sebenarnya. Dari mana logika menyusun regulasi ini?”
Ia meneruskan kalimatnya. Coba cek semua kota dan kabupaten di seluruh Jawa. Cek satu per satu. Di mana lokasi kantor gubernur, walikota dan bupati, di mana lokasi kejaksaan negeri, kantor DPRD, kantor kepolisian, rumah tahanan, kantor urusan agama atau Kanwil dan lembaga pendidikan.
“Cek saja sendiri. Semua lembaga itu berkumpul dalam satu zona, dengan radius tak terlalu jauh,” ujarnya.
Setelah itu, cek kembali di mana rumah Bupati, rumah para pimpinan dan pegawai kabupaten, para pegawai legislatif daerah, para pegawai dinas pendidikan, kejaksaan, serta semua pegawai pemerintahan, eksekutif legislatif dan yudikatif.
“ Mereka semua berada di tier satu di antara zona kekuasaan tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya rumah-rumah yang berada di tier kedua dan ketiga adalah rumah kerabat para pejabat, para pengusaha, pedagang, pegawai BUMND, orang-orang borjuis, para selebritas nan terpandang, tak terkecuali para camat, dan pemilik properti.
Cek saja sendiri. Semua lembaga itu berkumpul dalam satu zona, dengan radius tak terlalu jauh
Hampir semua SMP Negeri dan SMA Negeri berada di kota kabupaten, kota kotamadya dan kota provinsi. Di hampir seluruh daerah di Jawa apalagi di luar Jawa nyaris tak pernah dijumpai sekolah menengah negeri berada di pesisir yang berdekatan dengan para nelayan, di ujung desa tempat para petani bermukim, kaum miskin papa tinggal, di sekitar sentra industri dekat rumah-rumah buruh.
Saya lahir di sebuah desa di pinggir Bengawan Solo, di Lamongan, Jawa Timur. Sampe lebaran kuda seribu kali, saya tak mungkin bisa bersekolah di SMP Negeri yang berada di ibu kota kecamatan. Beruntungnya saya punya prestasi akademik yang sedikit mbois. Akhirnya saya diterima di sebuah SMP Negeri. Prestasi akademik saya berkembang hingga saya memenangkan cerdas cermat P4. Anda tahu P4? Ya, ya. Ini sudah jadul sekali. Tapi cerdas cermat P4 itu kebanggan. Jauh lebih bangga daripada Profil Pelajar Pancasila yang “dideklarasikan” tidak diturunkan dari nilai-nilai sila Pancasila itu.
Jadi, sebenarnya, darimana gagasan PPDB Zonasi itu? Seolah-olah beleid itu ingin berpihak kepada masyarakat marginal. Faktanya kebijakan itu justeru yang memarginalkan kecerdasan anak-anak Indonesia. (Habe Arifin)