Teriakan “Pilpres Curang..!!” menyesaki media sosial. Juga di grup-grup WhatsApp. Sejak Pilpres  2019, kecurangan terstruktur sistematis dan masif ini terus bergema. Pilpres 2024 idem dito.

Pemicunya adalah hasil quick count. Paslon 02 menang telak. Apanya yang menang? Jumlah suaranya lebih banyak daripada Paslon lain. Apakah jumlah suara terbanyak itu berarti menang? Begitulah tafsirnya. Siapa pemilik suara terbanyak, dialah pemenangnya.

Betapa pentingnya materi berhitung dalam kontestasi Pilpres. Dalam quick maupun real count, tak ada lagi orang bicara visi dan misi. Nyaris tak terdengar suara program. Jargon-jargon “presiden Gemoy,” “presiden rakyat” dan “presiden ganteng” nyaris hilang tertelan jumlah  hitungan suara. Perhatian penduduk Indonesia hanya pada angka. Persentase angka.

Benarkah rakyat Indonesia, presiden Indonesia, para calon presiden dan para penguasa begitu perhatian pada berhitung? Berhitung itu salah satu materi dalam  matematika? Kok saya ragu.

Buktinya selama 24 tahun Indonesia mengikuti survei PISA, hasil nilai matematika siswa Indonesia merah padam seperti rapor kebakaran. Kompetensi matematika anak Indonesia sejak 24 tahun silam jeblok. Indonesia mengikuti PISA sejak tahun 2000.  Persentasenya mencapai 80 persen bahkan nyaris hingga 90 persen orang Indonesia ( yang saat Pilpres 2024  berusia 15-40 tahun memiliki kompetensi matematika level 1 dan 2). Itu level terendah dalam survei PISA. Di level ini nyaris tak bisa digunakan dalam mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari. (Mohon maaf) Termasuk saat mereka menghitung penjumlahan hasil suara Pilpres.

Kok bisa? Menurut Master Trainer Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka)  Setiawan Agung Wibowo, petugas KPPS tak memahami nilai tempat dalam operasional bilangan. Akibatnya aplikasi Si Rekap salah membaca hasil penjumlahan. Perolehan suara Paslon X yang hanya 76 suara direkapitulasi menjadi 760 . Suara Paslon Y yang hanya 16 direkapitulasi menjadi 160. Sementara suara Paslon Z yang memperoleh 180 suara direkap sama 180 suara.

Dari mana suara 700 yang diperoleh Paslon X? Selidik punya selidik, petugas KPPS salah menempatkan angka 76. Nilai satuan, puluhan dan ratusan itu memiliki tempatnya. Jika salah meletakkan angka ke tempat yang semestinya maka angka itu akan dibaca oleh sistem sesuai nilai tempat yang sebenarnya. Jika perolehan suara 76 dan angka 7 puluhan  diletakkan di tempat ratusan, maka Si Rekap akan membaca 700 bukan 7 puluhan. Jika angka 6 satuan  diletakkan pada tempat puluhan pasti akan dibaca 60 bukan 6 satuan.

Jadi, jika salah satu Timses   berteriak, “Ini pemilu Gila,” ya wajar saja.  Jumlah pemilih di setiap TPS hanya 300-an. Jika Si Rekap menampilkan jumlah suara di TPS itu lebih dari 700, di situlah kegilaannya.  Begitu juga jika Timses lainnya juga  berteriak “pemilu curang”  juga wajar. Sebab ada penggelembungan suara hingga ratusan suara  di satu titik TPS.

Bayangkan nyeseknya Timses  yang seharusnya unggul dengan angka 180 suara tiba-tiba kalah telak dengan pemilik 76 suara  (berdasarkan dokumen C-1 Plano)  tetapi dihitung oleh Si Rekap KPU sebagai 760 suara. Akibatnya, ekspresi tuduhan terjadi pnggelembungan suara ugal-ugalan alias  besar-besaran pun menyeruak ke muka publik. Dan….ini yang penting, kejadian ini (penggelembungan) ternyata bersumber dari TPS  di 36 provinsi dan 181 kabupaten/kota. Entahlah jumlahnya  mungkin  ribuan bahkan puluhan ribu TPS di seluruh Indonesia.

Selama 24 tahun, apa yang sudah dikerjakan para penguasa untuk memperbaiki masalah berhitung ini?   Pemerintah tidak merasa persoalan berhitung (baca: literasi numerasi) sebagai situasi darurat nasional seperti halnya Pandemi Covid-19. Akibatnya penanganan masalah ini pun parsial dan sporadis bahkan cenderung abai. Inisiatif untuk membuat payung regulasi berupa Peraturan Presiden tentang Percepatan Penanganan Mutu Pendidikan Dasar pun seperti menemui jalan buntu. Macet..cet..!!

Sepertinya bukan hanya pemerintah, masyarakat luas pun melakukan pengabaian serupa. Abai bahwa situasi kegawatdaruratan kompetensi literasi numerasi anak Indonesia dan manusia Indonesia sudah sedemikian parah dan  menyedihkan.  Kelas menengah Indonesia bahkan merasa baik-baik saja hanya karena anak-anak mereka disekolahkan di sekolah termahal dan dididik kembali oleh guru-guru privat di rumah. Mereka lupa, jutaan anak Indonesia tak memiliki kemewahan seperti anak-anak mereka.

Jika negara ini terus mengabaikan persoalan rendahnya mutu literasi numerasi, percayalah mimpi generasi emas dan Indonesia Emas 2045 hanyalah fatamorgana. Andai PDB Indonesia betul-betul menjadi 4 besar di dunia, apa yang bisa diperbuat dengan PDB itu jika mutu dan produktivitas (angka Human Capital Index Indonesia hanya 0,54)  manusia Indonesia begitu rendah.

Semoga pemenang Pilpres 2024 bisa mencanangkan Program Gawat Darurat Pendidikan Dasar dan melakukan langkah-langkah penanganan serius termasuk  mengalokasikan anggaran APBN mirip seperti saat mengatasi Pandemi Covid-19. Manusia Indonesia adalah investasi terbesar bangsa Indonesia. Kini dan nanti. Percayalah…!!! (Habe Arifin)

 

**Tulisan ini tak ingin membahas “kecurangan” pemilu dalam bentuk lain. Artikel ini ingin menyoroti temuan Master Trainer Gernas Tastaka yang begitu prihatin tentang rendahnya pemahaman petugas pemilu tentang nilai tempat dalam matematika.