Kekurangan Pemilu 2024. Itulah diksi yang digunakan Anies dalam pesannya yang disebar melalui media sosial. Diksi ini relevan dengan tujuannya yaitu memperbaiki kualitas pemilu. Mengapa? Agar setiap suara rakyat itu tercatat secara akurat.

Diksi itu  sangat baik dan elegan. Tanpa menghakimi penyelenggara pemilu melakukan tindakan di luar kepatutan. Berbeda dengan diksi kecurangan pemilu. Diksi itu sangat  prejudice. Berprasangka buruk. Setiap orang bisa salah dan keliru. Kekeliruan bisa diperbaiki. Ada mekanisme memperbaikinya. Prasangka buruk tidak memiliki prosedur perbaikan. Salah atau benar bisa saja disangka buruk.

Dari diksi ini, Anies ingin membawa budaya  pemilu Indonesia  naik level ke tingkat peradaban pemilu. Pemilu dilaksanakan dalam pondasi keberadaban. Pemilu dijalankan dengan standar nilai-nilai, etika dan moralitas yang tinggi. Setiap penyelenggara pemilu berada dalam ekosistem keadaban pemilu. Jika ini dasarnya, pemilu Indonesia akan semakin berkualitas.

Kualitas pemilu sangat identik dengan kualitas demokrasi. Pemilu yang legitimate, yang tepercaya, dimulai dari akurasi pencatatan suara rakyat secara jujur dan apa adanya. Siapa yang dipilih rakyat, dia yang memang sengaja dipilih. Satu suara rakyat diberikan kepada siapa saja tercatat dengan baik. Tanpa dikurangi. Tanpa ditambahi.

Rakyat memberikan amanah suaranya kepada pemyelenggara pemilu. Amanah ini jangan sampai tertukar. Jangan pula sengaja  dihilangkan. Jangan sampai disembunyikan, diperjualbelikan dan  digugurkan. Sebab, satu suara rakyat itu tidak memandang asalnya. Suara dari seorang  presiden dan suara pedagang tempe sama-sama dicatat dan dihitung  sebagai satu suara. Betapa berharganya satu suara itu.

Mari kita lihat bagaimana suara mulai dihitung.  Ketika hitung cepat dilakukan  banyak lembaga survei, publik seolah sedang disodori hasil pemilu. Dominasi informasi ini jika terus menerus disampaikan dan diopinikan akan membangun opini publik siapa pemenang pemilu.  Penyelenggara pemilu, KPU, bisa dipressure untuk menyesuaikan penghitungan suaranya dengan suara berdasarkan hitungan cepat lembaga survei.

Ganjar, Capres PDIP, menyebutkan suara hasil hitung cepat untuknya terdapat anomali. Jumlah suaranya lebih kecil dibandingkan suara partai pengusungnya. Logika awamnya, pemilih yang memilih PDIP juga memilih Ganjar. Sebab, Ganjar adalah capres PDIP. Ganjar masih belum percaya. Apakah anomali ini terjadi pada sistem hitung cepat atau anomali terjadi pada perilaku pemilih.

Kebetulan, pemilih dalam pemilu kali ini disesaki oleh Gen-Z. Generasi yang dikenal memiliki perilaku lebih independen dan cenderung zig zag. Pagi bisa sarapan spagheti, sore nongkrong di warung seblak.

Sebagai penyelenggara pemilu, KPU  melakukan hitung manual secara berjenjang. Penghitungan manual ini yang disahkan sesuai undang-undang.  Untuk mengakselerasi proses penghitungan dan atas nama transparansi, dibuatlah aplikasi si rekap. Dokumen C-1 Plano diunggah ke aplikasi.

Di sinilah telunjuk “anomali” dan  kecurangan itu diarahkan.  Suara rekapitulasi berbeda dengan dokumen C-1 Plano. Misalnya, di sebuah TPS, Paslon Amin mendapatkan suara 108. Dalam dokumen C-1 ditulis 108. Prabowo mendapatkan 74, ditulis  74 dalam dokumen C-1. Begitu pula  Ganjar mendapatkan suara 16 juga ditulis dalam dokumen C-1 16. Setelah diunggah ke Si Rekap, rekapitulasinya berubah. Paslon Amin tetap mendapatkan 108. Prabowo mendapatkan 748.  Ganjar memperoleh 160.

Kejadian di satu TPS ini rupanya seperti virus, menyebar ke ratusan ribu TPS lainnya. Angka dalam dokumen C-1 berbeda dengan rekapitulasi  dalam aplikasi Si Rekap. Jika ditotal, jumlahnya bisa sangat signifikan mengubah kenaikan  persentase perolehan suara Anies dan Ganjar.

“Virus” rekapitulasi ala Si Rekap ini memang tak akan dijadikan basis hitungan suara sah oleh KPU. Suara tetap dihitung dari angka-angka yang tertuang dalam C-1. Namun, suara rekapitulasi melalui Si Rekap itu dibuat oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu yang seharusnya menyajikan hasil rekap yang benar dan solid. Hasil operasi bilangan antara C-1 dan Si Rekap harus terjamin  sama.

KPU harus menegakkan prinsip dan azas profesionalitas dalam menjalankan pemilu. Profesional itu jika 1+1 sama dengan 2. Bukan 200. Rakyat melihat Si Rekap sebagai media publikasi hitung pemilu resmi KPU. Jika KPU membiarkan Si Rekap menampilkan kesalahan, KPU dianggap tidak profesional. Ini bisa mengurangi kepercayaan rakyat pada KPU, termasuk pada kualitas pemilu.

Anies menghargai setiap keringat  petugas KPPS  yang sudah bekerja keras mencatat hasil suara di setiap TPS. Hasilnya dituangkan dalam C-1. Hasil inilah yang harus dikawal oleh KPU. Baik di meja sidang maupun yang ditampilkan dalam si rekap.

Kekurangan pemilu lainnya juga masih banyak. Ada kertas suara yang sudah dicoblos lebih dahulu. Ada intimidasi. Bawaslu menemukan 9 jenis pelanggaran dari ribuan TPS. Tim Amin dan TKN Ganjar juga menemukan hal yang sama. Tetapi persoalan kemenangan pemilu sangat ditentukan oleh kebenaran dalam operasional bilangan dalam dokumen C-1. Istilah anak SD. Ini hanya persoalan tambah-tambahan. Masalah yang sangat sederhana. Sekali lagi, 1+1 harus sama dengan 2. Bukan 200.

Masih ada waktu, KPU  mesti cepat memperbaikinya. Sebelum rakyat kehilangan kepercayaan. Sebelum rakyat kehilangan kesabaran. Ingat, satu suara sangatlah berarti. Suara presiden dan suara pedagang tempe sama-sama dihitung sebagai satu suara. Jangan sampai rakyat tercederai. Risikonya teramat mahal untuk bangsa dan negara ini. Ayo KPU…!!  (Habe Arifin)