Siapa Mandi lebih cepat di Pilpres pada putaran pertama? Jawabannya bisa terlihat dari hasil survei Kompas beberapa hari lalu. Angka surveinya cukup rasional dan relevan dengan situasi politik saat ini. Lalu, bagaimana para kandidat Capres seharusnya bersikap?
Hasil survei Kompas menyajikan angka menarik buat para Timses Capres. Pasangan Prabowo Gibran mengungguli dua pasang lawannya. Angkanya menakjubkan hampir menyentuh 40 persen. Survei dari berbagai lembaga lain, PraGib mencapai 42-45 persen. Angka yang sangat rasional dengan semboyan mereka untuk bisa menang satu putaran. Survei Kompas dikenal sangat akurat dan hampir sejalan dengan fakta hasil pemilu.
Yang menarik, pasangan Ganjar Machfud menempati posisi buncit. Pasangan Anies Gus Imin berhasil menyalibnya. Meski tak terpaut cukup jauh, fakta menunjukkan pasangan AMIN dalam posisi naik daun alias growth. Sementara pasangan GM tergelincir turun.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan pasangan AMIN tumbuh dan pasangan GM melorot? Berbagai lembaga survei menyajikan seabrek data untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, satu hal yang pasti, pasangan AMIN lebih punya identitas dibandingkan pasangan GM.
Identitas AMIN sangat jelas yaitu Perubahan. Tegas-tegas mengusung tagline perubahan dengan “melawan” Jokowi. Apapun tafsirnya, perubahan itu yang diusung. Sementara GM menyajikan fakta kebimbangan. Bingung antara melanjutkan atau perubahan. GM tak berani mengatakan saklek: lanjutkan. Sebab itu tagline Prabowo Gibran. Tagline perubahan juga jelas tak mungkin. Itu sebabnya pasangan GM diplesetkan Gagal Move-on. Berubah tidak. Melanjutkan juga tidak. Identitasnya samar-samar dan tidak jelas.
Politik itu persepsi. Apa pun definisinya, pada akhirnya politik itu lahir di atas meja rakyat sebagai persepsi. PraGib dipersepsikan sebagai pelanjut tongkat estafet rezim Jokowi. AMIN antitesa banyak kebijakan Jokowi. GM? Lagi-lagi pasangan ini sulit diidentifikasi. Presiden Jokowi adalah buah dari rezim PDIP karena Jokowi adalah petugas partai. Bila menentang Jokowi sama saja menelanjangi diri.
Dalam semua kampanye dan iklan, narasi PraGib jelas sekali. Iklan Prabowo tentang kebingungan rakyat terhadap kelanjutan kartu Pra Kerja misalnya. Prabowo dengan tegas berkata,”Tunggu…tungguu….kartu Pra Kerja akan dilanjutkan. Semua kebijakan Pak Jokowi akan dilanjutkan.’
Begitu juga dengan Anies. Dengan tegas, Anies menyatakan pembangunan IKN akan dievaluasi. Ribuan uang rakyat yang dialokasikan untuk IKN akan dialihkan untuk kebutuhan mendesak bagi rakyat di bidang pendidikan dan kesehatan. Statemen Anies ini langsung berhadap-hadapan dengan program Jokowi. Perubahan harus terjadi, begitulah pesannya. Anies akan mengoreksi semua kebijakan yang tidak menyertakan rasa keadilan dan pemerataan.
Bagaimana dengan GM? Lagi-lagi persepsi publik tentang GM dalam berbagai isu tidak terlihat dan tidak masuk dalam radar perdebatan publik. Tak ada gagasan yang dibenturkan dan diaduk-aduk oleh publik sebagai sebuah isu yang mampu mempengaruhi pikiran dan perasaan publik. Relevansinya adalah pengaruh pikiran dan perasaan ini akan berujung pada sikap publik di depan kotak suara: siapa yang akan dipilih dan dicoblos.
Intinya adalah ide, gagasan, statemen bahkan pribadi pasangan GM tak banyak diperbincangkan dan didiskusikan oleh rakyat. Akibatnya tak ada narasi yang cukup kuat untuk mengidentifikasi pasangan ini. Maka benar kata berbagai pengamat bahwa perolehan suara pasangan GM ditaksir stagnan sama dengan perolehan suara PDIP. Suara dari bangunan politik koalisi tak bergerak jauh. Tidak signifikan dibahas dan dianalisis.
Ketum PDIP Megawati sudah memencet tombol merah perlawanan kepada Jokowi sebenarnya. Dengan sangat keras, Jokowi dicap sebagai Orba. Kode ini seolah memberi perintah agar GM bersikap konfrintatif dan mengamplifikasi isu ini dengan berbagai macam varian dan dilakukan dengan daya dukung yang sangat kuat dan repetitif. Faktanya isu ini loyo tak sampai sepekan. GM balik kanan dan tidak ingin meneruskan sikap bermusuhan dengan orang yang selama ini menjalankan fungsinya sebagai petugas partai.
Kalau bagaimana cara GM mempertahankan popularitas dan elektabilitasnya? Cara satu-satunya menaikkan kualitas suara GM adalah mempertebal identitas pasangan ini. Pak Machfud bisa dijadikan ikon antikorupsi, misalnya. Tetapi isu antikorupsi itu bakal menabrak temboknya sendiri. Sebab pasangannya, Ganjar, sempat diisukan terlilit kasus e-KTP. Isu ini bisa gagal total jika diperkuat dan dipersonifikasikan kepada Machfud.
Lalu isu apa yang cukup kuat untuk mengidentifikasi pasangan GM? Menurut saya isunya bisa apa saja tetapi caranya yang harus mendasar dan mengaduk-aduk emosi pendukungnya. Harus ada common enemy yang dibangun pasangan ini. Tanpa itu, siap-siaplah pasangan ini mandi lebih cepat di putaran pertama.
Lihat suara AMIN. Statemen Anies semakin hari semakin keras dan tajam. Dalam kasus keplesetnya Gibran soal stunting, Anies berhasil mengambil poin dengan sangat elegan. Persepsi Anies sebagai capres yang pandai berkata-kata kini dilengkapi dengan Capres yang berani melawan dan tegas. Suara Anies sudah mulai menggetarkan dan memekakkan kubu pelanjut tongkat estafet Jokowi. Anies bahkan berhasil membangun ketakutan para pendukung Jokowi.
Iklan Prabowo tentang kartu Pra Kerja menegaskan rasa takut itu. Iklan itu jelas sekali menarik perasaan gunda gulana, tidak hanya, di masyarakat tetapi mitra, kolega, cukong, sanak saudara dan antek-antek Jokowi. Semakin besar rasa takut itu menyebar ke masyarakat maka Anies berhasil mengidentifikasi dirinya dengan baik. Dengan begitu, ibarat sekeping mata uang, solusi Anies pun ditangkap publik sebagai tawaran perubahan yang lebih nyata, lebih rasional dan lebih baik.
Bagi AMIN, memperkuat suara oposisi perubahan akan berdampak sangat bagus. Kritik keras harus terus disampaikan agar semakin kuat dan nyaring dengan repetisi yang kontinu. Bagi GM, mau tidak mau, mereka harus berani keluar dari “ketiak” Jokowi dan tidak terperangkap dalam jebakan perubahan. Patut dirumuskan suara tengah yang kuat dan moderat. Tidak diametral dengan Jokowi tetapi juga tidak menelan bulat-bulat melanjutkan Jokowi.
Sekadar contoh ilustrasi. NU dan Muhammadiyah itu jalan tengah dalam polarisasi Islam kanan dan Islam kiri. Dan, jalan tengah ini diikuti mayoritas umat Islam di Indonesia. GM bisa mengambil ilustrasi tersebut.
Lalu, jalan tengah seperti apa yang akan dilekatkan sebagai identitas baru pasangan GM? Entahlah…Satu hal yang pasti, jika pasangan GM tidak berhasil membuat gebrakan yang besar dan masif, bisa dipastikan pasangan ini akan mandi lebih cepat di putaran pertama. (Habe Arifin)