SAYA kemarin ikut berdiskusi tentang stunting. Tidak ada padanan kata yang pas untuk istilah dalam bahasa Inggris ini. Stunting tidak bisa diartikan secara harfiah sebagai kerdil, cebol, kuntet, atau bantet. Stunting adalah anak balita gagal tumbuh (Aligatum).

Jumlah para Aligatum ini lumayan besar di Indonesia. Tahun 2018, jumlahnya 30 persen. Tahun 2021, angkanya turun menjadi 24,4 persen. Artinya 1 dari 4 kelahiran bayi di Indonesia gagal tumbuh. Tahun 2022, prevalensi turun 2,9 persen menjadi 21,5 persen. Indonesia menargetkan angka prevalensinya menjadi 14 persen atau terpaut 6 persen di bawah angka rerata yang ditoleransi World Health Organization.

Jumlah ini mengkawatirkan.  Potensi terburuk para Aligatum adalah terjadinya pelambatan pertumbuhan  fisik dan otak. Fisiknya akan lebih pendek. Pelambatan otaknya akan berdampak pada terjadinya keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar,  dan risiko serangan penyakit kronis.

Jika mentalnya terganggu, ini sangat berbahaya bagi masa depan anak-anak Indonesia dan generasi emas Indonesia yang ditahbiskan terjadi pada 2045. Tepat 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Jangan sampai pada 2045,  generasi emas Indonesia justru seperti tempe mendoan letoy.

Presiden Joko Widodo sudah menabuh genderang kegawatdaruratan masalah Aligatum ini. Peraturan Presiden No 72 Tahun 2021 diteken. Mandatnya sangat tegas: turunkan angka Aligatum hingga 14 persen pada 2024. Wapres mendapat mandat memimpin peperangan melawan “pasukan” Aligatum  ini.

Para Aligatum ini ditetapkan sebagai Aligatum setelah  usia 2 tahun.  Startnya 1000 hari pertama sejak si ibu dinyatakan hamil. Begitu usia 2 tahun terjadi kekurangan gizi kronis, si baduta (bayi dua tahun) ini langsung “diterima” masuk skuad pasukan Aligatum.

Artinya selama Bumil, pertarungan sejatinya sudah berlangsung. Jika para Bumil ini kurang mendapat kasih sayang suaminya, berupa makanan bergizi, siap-siap pasukan Aligatum akan bertambah signifikan. Bila para Bumil juga dipaksa bekerja terus-menerus di pabrik tanpa istirahat dan tanpa asupan makanan bergizi, gelombang Aligatum akan terus membeludak.

Jika ditarik ke belakang sedikit, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2020, mayoritas  usia wanita Indonesia menikah pada usia 19-24. Usia mahasiswa strata 1 rata-rata berusia 18-24. Jika tidak ada intervensi asupan gizi pada calon ibu di saat usia SMA dan usia mahasiswa, gelombang Aligatum dipastikan  semakin besar.

Anak-anak SMA dan mahasiswa terbiasa makan makanan instan. Makanan yang tidak memberikan nilai gizi memadai. Begitu juga saat mereka mahasiswa. Jika gaya hidup ini terus berlangsung, dengan berbagai alasan, maka dipastikan pada saat memasuki usia perkawinan, calon-calon  ibu ini akan menjadi donor pasukan Aligatum. Mereka akan melahirkan Aligatum-aligatum baru.

Di hilir, melalui Perpres 72/2021, pemerintah sibuk memerangi para Aligatum. Hasilnya terlihat signifikan. Sejak 2018 hingga 2022, angka prevalensinya turun hingga 8,5 persen. Hampir 2 persen per tahun.

Bagaimana di hulu? Apakah anak-anak SMA dan  mahasiswa juga dikenalkan masalah “pasukan” Aligatum ini?  Para remaja dibiarkan jajan dan makan makanan instan, tanpa gizi dan protein yang cukup. Mereka terjebak pada gaya hidup instan ala ala K-Pop.

Peperangan di hilir melalui Perpres 72/2021 tidak bisa sendirian. Penurunan angka stunting  hanya efektif di angka  2 persen per tahun. Sementara di hulu, tidak ada intervensi apa pun. Anak-anak calon ibu dibiarkan mengembangkan gaya hidup tanpa makanan bergizi. Sejak mahasiswa yang indekos, mereka lebih suka makan mi instan dan semua yang serba instan tanpa kontrom gizi dan protein yang memadai. Dampaknya bisa ditebak stunami stunting bisa kapan saja meledak.

Pertempuran di hulu sejatinya tidak hanya pada menjaga asupan gizi dan pemberian vitamin pada anak-anak SMA dan mahasiswa (ini pun belum ada). Pertempuran sesungguhnya terjadi pada anak Balita “setengah/seperempat stunting” yang mulai masuk sekolah awal (PAUD/TPA). Usia 4-5 tahun ketika anak-anak mulai dikenalkan pendidikan persekolahan.

Apakah lembaga PAUD/TPA dan terutama  gurunya mengenal bahaya  Aligatum ini? Apakah para guru PAUD senantiasa bertanya apakah anak-anak sudah sarapan? Apa saja jenis makanannya? Bagaimana jika anak-anak belum sarapan? Apakah lembaga PAUD/TPA menyediakan sarapan di sekolah dengan gizi yang memadai? Dari mana anggaran pengadaan sarapan di sekolah? Apakah dinas pendidikan dan kantor wilayah agama mengetahui masalah ini? Apa saja yang sudah dilakukannya? Apakah dinas pendidikan dan kantor wilayah agama menganggarkan sarapan dan atau intervensi gizi ke PAUD dan TPA? Apa saja bentuknya? Apakah sudah dipantau hasilnya?

Pertanyaan berikutnya adalah Apakah kementerian pendidikan dan ristek memberi kontribusi pada penurunan stunting dan melakukan pencegahan stunting? Atukah mereka hanya sibuk dengan guru penggerak dan kurikulum merdeka belajar yang hingga hari ini tak mengubah mutu pendidikan nasional setelah hasil Asesmen Kompetensi dikeluarkan hasilnya.

Peperangan di hilir untuk menurunkan stunting tidak bisa dilepaskan dari peperangan di hulu untuk mencegah terjadinya stunting. Perpres 72 Tahun 2021 seharusnya tidak hanya memberi mandat penurunan stunting tapi juga pencegahan stunting. Sebab, persoalan terbesar bukan hanya pada potensi terjadinya  gelombang stunting baru yang dilahirkan para calon ibu malgizi tapi gelombang perlambatan pertumbuhan otak anak-anak Indonesia juga ancaman terjadinya kelumpuhan fungsi otak anak Indonesia akibat kesalahan sistem pendidikan nasional dalam menerapkan materi pedagogi literasi numerasi dan membaca.

Buktinya bisa dilihat. Angka kompetensi anak Indonesia masih di kisaran 394 dari 625 angka dunia. Pada titik ini kinerja pendidikan nasional dan neraca pendidikan nasional tidak menyentuh sama sekali terhadap kenaikan angka kompetensi tersebut. Artinya hiruk pikuk merdeka belajar yang bersumbu pada keinginan melakukan transformasi pendidikan tidak menemui sasaran seperti yang digariskan dalam visi misi Presiden yang tertuang dalam RPJMN 2019-2024.

Transformasi pendidikan bukanlah seperti tukang fotokopi yang tiba-tiba mengubah  fotokopi manual menjadi fotokopi digital. Transformasi pendidikan seharusnya diartikan sebagai perubahan besar sistem pendidikan nasional dari peningkatan akses pendidikan ke mutu pendidikan. Digitalisasi hanya akan memperlebar akses dan gagal meningkatkan mutu.

Human Capital Index Tahun 2020 sebelum pandemi memberikan rapor penting tentang produktifitas generasi Indonesia. Rapor Indonesia hanya 53 persen. Tertinggal jauh dari Singapura yang mencatatkan skor 88 persen atau Vietnam dengan angka  67 persen. Artinya apa, anak Indonesia yang lahir hari ini dan pada saat usia 18 tahun kemudian hanya akan mampu mengerjakan 53 persen dibandingkan anak Singapura yang berhasil 88 persen atau anak Vietnam yang mampu sebesar 67 persen.

Sumbangan terbesar rapor merah menyala HCI ini akibat kompetensi literasi membaca, matematika dan sains anak Indonesia buruk. Skor membaca hanya 371, matematika 379, dan sains 396. Dengan skor rendah ini posisi Indonesia berada pada ranking 74 dari 79 negara. Rapor buruk pendidikan ini mengakibatkan angka HCI Indonesia hanya 53 persen.

Dalam HCI, anak Indonesia cukup lama berada di sekolah (belajar) yakni sekitar 12,5 tahun sampai kelas 2 SMA.  Artinya anak usia 4 tahun masuk PAUD/TPA selama 2 tahun, ditambah pendidikan SD/MI selama 6 tahun, lalu SMP 3 tahun, dan SMA (kelas 2 semester 1). Secara akses, anak Indonesia sangat bagus. Semua anak Indonesia belajar di sekolah. Fakta ini berbading terbalik dengan mutu belajarnya. HCI menyebut kemampuan belajar (kompetensi) anak Indonesia hanya setara 7,4 tahun atau setara kelas 6 SD/MI.

Jika di hilir Indonesia menghadapi stunting, di hulu Indonesia mengalami kelumpuhan nalar atau “stunting akal.” Dua “ stunting” ini adalah rapor hitam terbesar dalam pembangunan SDM di Indonesia. Masa depan Indonesia yang ditargetkan sebagai negara Maju 2045 dengan cita-cita Membangun Generasi Emas 2045 dan ditopang dengan asumsi pemilik PDB terbesar ke-4 dunia, tampaknya masih jadi tanda tanya besar.

Kinerja pendidikan nasional seperti berjalan sendiri seolah tak punya nakhoda. Panduan  RPJMN yang seharusnya diturunkan ke dalam  Renstra Kementerian seperti anak sekolah kehujanan tanpa payung. Gegap gempita merdeka belajar seolah tarian angin yang terkikis disapu hujan.

Tak ada kata terlambat, Perpres 72/2021 adalah bukti penting gerakan besar untuk menurunkan stunting di hulu dan faktanya stunting turun. Kini Pemerintah perlu  membuat Perpres baru untuk menaikkan mutu pendidikan anak-anak Indonesia dari standar PISA/PIRL/TIMMS yang terangkum dalam Harmonize Test Score yang diacu oleh HCI.

Jangan biarkan Kementerian Pendidikan dan Ristek  berjalan dengan agenda dan kepentingannya sendiri tanpa orkestrasi Pemerintahan Jokowi. Gendang Gawat Darurat Aligatum sudah ditabuh sebelah. Saatnya Presiden Jokowi menabuh gendang sebelah lainnya untuk memberangus buruknya mutu pendidikan anak Indonesia. (Habe Arifin)